SUKAGOAL.com – Sepak bola seringkali dipenuhi dengan berbagai mitos dan kutukan yang diyakini oleh para penggemarnya. Salah satunya adalah fenomena unik yang menimpa para pemeran yang berprestasi dalam final Liga Champions sejak tahun 2019. Kutukan ini tidak cuma membikin penasaran, namun juga menimbulkan rasa takut di antara para pemain yang tampil gemilang di laga puncak tersebut. Sejak empat tahun terakhir, pemain yang dianugerahi gelar Man of the Match atau mereka yang mencetak gol di final Liga Champions mengalami nasib sial berupa cedera parah dalam waktu singkat setelah pertandingan. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah ini sekadar kebetulan, atau ada sesuatu yang lebih dari itu?
Nasib Jelek Pahlawan Lapangan
Sejak tahun 2019, sejumlah pahlawan lapangan yang pernah bersinar di final Liga Champions justru harus menghadapi realita pahit cedera yang mengganggu karier mereka. Pada tahun 2019, pemeran yang menjadi pusat perhatian ketika final adalah Divock Origi dari Liverpool. Setelah penampilan gemilangnya dan gol yang menghantarkan kemenangan bagi timnya, Origi kemudian mengalami masa sulit dengan beberapa cedera yang membuatnya absen dari banyak pertandingan.
Cerita serupa terjadi pada tahun berikutnya. Kingsley Coman, pemeran Bayern Munchen yang mencetak gol penentu di final 2020, juga harus menghadapi nasib yang sama. Beberapa ketika setelah menjadi pahlawan di stadion, Coman dihantam rangkaian cedera yang menahan akselerasi kariernya. Frustrasi dan ketidakpastian menjadi rekan sehari-hari para pemeran ini saat mereka berjuang buat kembali ke kondisi prima. Hal ini tidak cuma memengaruhi taraf kebugaran fisik mereka tetapi juga moral dan kepercayaan diri mereka di lapangan.
Kebetulan atau Kutukan?
Fenomena ini menimbulkan obrolan hangat di kalangan penggemar dan pakar sepak bola. Beberapa orang percaya bahwa situasi yang dihadapi para pemain ini hanyalah kebetulan belaka. Dunia sepak bola memang penuh dengan risiko, dan cedera mampu menimpa siapa saja, kapan saja. Namun, tak sedikit yang mulai memandangnya sebagai kutukan yang konkret, terutama mengingat konsistensi formasi yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Media sosial dan forum-forum sepak bola pun dipenuhi dengan spekulasi dan berbagai teori mengenai dalih di balik “kutukan” ini.
“Kami berusaha keras untuk statis konsentrasi dan tidak membiarkan hal-hal seperti ini mempengaruhi tim kami,” ujar seorang pelatih ternama. “Tetapi tak dapat dipungkiri bahwa eksis sedikit rasa khawatir di antara para pemain waktu mereka menyadari formasi ini.”
Perdebatan tentang apakah fenomena ini hanyalah serangkaian kebetulan atau sesuatu yang lebih dari itu mungkin belum akan berakhir dalam ketika dekat. Namun yang pasti, para pemain akan masih berjuang, menantang diri mereka untuk menjadi yang terbaik dan berharap kutukan ini tak berlanjut. Sementara itu, para penggemar dan pengamat sepak bola akan terus mencermati siapa yang akan menjadi ‘korban’ berikutnya dari kutukan unik ini.
Dengan segala rahasia dan intrik yang menyelimuti fenomena ini, tak dapat disangkal bahwa hal ini menambah energi tarik tersendiri kepada laga-laga final Liga Champions, membikin setiap pertandingan menjadi lebih dari sekadar perebutan gelar, melainkan juga perhelatan yang membikin penasaran dengan takdir para bintang lapangan.




